Ketika Self Care Bertemu Tradisi: Curhat Tentang Mentalitas Wanita Modern

Ketika Self Care Bertemu Tradisi: Curhat Tentang Mentalitas Wanita Modern

Akhir-akhir ini gue sering mikir tentang gimana self care yang kita lihat di feed Instagram kadang tabrakan sama tradisi keluarga yang turun-temurun. Jujur aja, sebagai wanita yang lahir dan besar di lingkungan yang masih pegang kuat nilai-nilai “harus begini” dan “tanggung jawab itu dulu”, gue sering ngerasa ada dua suara di kepala: satu bilang “istirahat, ambil waktu buat diri sendiri”, satunya lagi bilang “kamu harus ada untuk keluarga, itu prioritas”. Tulisan ini bukan kajian akademis—lebih kayak curhat panjang sambil nyeruput kopi—tentang gimana mentalitas wanita modern berusaha nyelipin self care di sela-sela tradisi.

Self-care bukan sekadar scrub: real talk

Self care sering disalahartikan sebagai ritual mewah: masker wajah, spa, atau beli lilin aromaterapi. Padahal buat gue self care paling dasar itu adalah ngasih izin pada diri buat nggak produktif sejenak, makan siang tanpa mikirin kerjaan, atau bilang “enggak bisa” tanpa minta maaf berkali-kali. Ada pride juga di balik “bisa ngurus keluarga sekaligus karier”, dan itu bukan hal salah. Tapi ketika pride itu berubah jadi kebanggaan yang memaksa kita menekan kebutuhan batin sendiri, di situ bahayanya.

Warisan nilai atau beban? (ngomongin budaya)

Di banyak keluarga, tugas-tugas domestik dan peran pengurus emosi sering otomatis jatuh ke perempuan. Itu bukan mitos—itu realita. Tradisi memberi struktur dan rasa identitas, tapi juga bisa jadi sumber stress kalau aturan tradisional bikin perempuan merasa wajib selalu “kuat” tanpa jeda. Gue sempet mikir, apa bedanya ritual tradisi seperti gotong royong di kampung sama ritual modern kita, yaitu selalu tampil ok di sosial media? Keduanya umur panjangnya sama: menuntut performa.

Curhat: gue sempet mikir mau kabur ke spa tapi…

Satu contoh kecil: beberapa bulan lalu gue ngajak mama ke spa, bukan karena mau pelesiran—tapi karena gue lagi desperate butuh waktu sendiri. Reaksi keluarga? “Kok ninggalin rumah sendirian? Nanti siapa yang urus makan?” Ada temen yang komentar, “Itu kan hakmu,” tapi ada juga yang bilang, “Masa harus keluar duit buat ngurus diri?” Gue ketawa kecil waktu itu, tapi di dalam gue juga ngerasa bersalah. Bahkan kebahagiaan kecil kayak itu kadang harus dikeplok dengan izin dari lingkungan. Di momen itu gue sadar, self care bukan cuma soal uang atau waktu, tapi soal mengatasi rasa bersalah yang udah diinternalisasi.

Gimana caranya nyelipin self care tanpa ngerusak tradisi (tips santai)

Pertama, jangan jadikan tradisi musuh. Banyak tradisi yang sebenarnya bisa jadi self care kolektif—arisan, kumpul keluarga, atau ritual makan bersama bisa menjadi momen recharge kalau kita jaga batasan. Kedua, mulai dari yang kecil: izin 10 menit tiap siang buat napas, atau keluar sebentar saat reuni keluarga. Ketiga, komunikasikan alasanmu dengan cara yang lembut tapi tegas. Kadang orang tua cuma butuh dijelasin bahwa kamu nggak abai, cuma perlu jeda. Dan terakhir, cari komunitas yang supportif—bisa temen, grup online, atau baca tulisan-tulisan yang nangkep perspektif kamu, misalnya blog yang gue suka baca di inidhita yang sering ngulik soal keseharian dan cara merawat diri tanpa drama.

Nggak semua orang harus ke psikolog atau ikut kelas meditasi mahal untuk dibilang “self care”. Self care itu konteksual, dan untuk banyak wanita, itu berarti menawar keseimbangan antara menjaga tradisi dan mempertahankan kesehatan mental. Kadang kita butuh renegosiasi peran dengan lembut: bukan menolak tradisi, tapi menyesuaikan supaya tradisi itu bisa hidup bersamaan dengan kebutuhan batin kita.

Di akhirnya, yang gue pelajari adalah ini: kita boleh tetap pegang tradisi, tapi nggak usah bawa semua beban tradisi itu sendiri. Biar orang lain tahu kalau kita juga manusia yang butuh istirahat. Self care yang sejati bukan egois—dia justru bikin kita bisa hadir lebih utuh untuk orang yang kita cintai. Jadi, ayo mulai dari hal kecil: izin tidur siang, bilang “tidak” tanpa drama, dan sesekali, biarkan diri menikmati masker wajah—kalau itu yang bikin bahagia, kenapa nggak?

Leave a Reply