Kenapa Kita Masih Malu Bicara Kesehatan Mental di Tengah Budaya Wanita

Kenapa Kita Masih Malu Bicara Kesehatan Mental di Tengah Budaya Wanita

Jujur aja, kadang gue mikir kenapa obrolan soal kesehatan mental masih terasa seperti topik terlarang tiap kali nongol di kumpul keluarga, kantor, atau sekadar chat grup temen lama. Padahal penyakit fisik bisa langsung dapat ucapan empati, obat, dan resep dokter, sementara kalau bilang “gue lagi down”, ada yang jawab “yaudah kuatkan aja”. Artikel ini bukan jurnal ilmiah, cuma curahan pikiran dan pengamatan soal gimana budaya wanita di Indonesia—dan mungkin di banyak tempat lain—masih bikin kita malu buka topik yang seharusnya biasa.

Beberapa alasan kenapa kita tertutup (informasi, bukan menghakimi)

Ada beberapa faktor nyata: stigma sosial, stereotip gender, kurangnya literasi mental health, dan sistem yang belum ramah buat perempuan. Stigma itu kuat karena generasi orang tua kita tumbuh di era di mana “sakit hati” disamain sama lemah. Ditambah stereotip perempuan harus selalu sabar, lembut, dan jadi penopang—jadi kalau dia ngomong lagi kesusahan, banyak yang langsung menganggapnya drama atau cari perhatian. Gue sempet lihat temen bilang nggak berani cerita karena takut dinilai nggak kompeten di kantor. Itu bukan cuma soal perasaan, tapi karier juga.

Faktor lain adalah akses: terapi mahal, layanan masih terbatas, dan kadang tenaga kesehatan sendiri belum sensitif gender. Media sosial pun nggak selalu membantu; di satu sisi ada awareness, tapi di sisi lain muncul standar performatif yang malah bikin seseorang merasa “belum cukup” kalau nggak selfie sambil senyum dari hasil terapi. Kompleks, kan?

Perempuan nggak selalu harus kuat, loh (opini panas dari hati)

Ngomong dari pengalaman pribadi, gue sering ngerasa beban untuk terlihat oke. Keluarga suka bilang “kamu kan perempuan, harus bisa ngurus orang lain dulu” seolah kebutuhan emosional kita bisa ditunda. Jujur aja, itu cap nemenin setiap langkah—kadang gua sendiri nggak ngasih izin buat break. Jadi wajar kalau banyak yang pilih menutup diri daripada repot diterjah label “lemah” atau “manja”.

Kita perlu nyadar: mengakui struggling itu bukan tanda kelemahan, tapi langkah berani buat jaga diri. Kalau kita mulai ngomong, anak-anak muda nanti bakal ngerasa lebih aman buat cari bantuan. Perubahan budaya itu dimulai dari hal kecil: buka obrolan di ruang tamu, di meja makan, atau di grup keluarga. Sederhana tapi efeknya panjang.

Ngomongin Kesehatan Mental Itu Bukan ‘Curhat Galau’ (sedikit ceplas-ceplos, tapi serius)

Ada momen lucu sekaligus menyakitkan: temen gue posting soal visit ke psikolog, eh sebagian komentar langsung “curhat doang, drama”. Padahal datang ke profesional itu langkah konkret—bukan sekadar curhat. Biar enggak terjebak mitos, kita bisa mulai ubah nada obrolan: ganti “kenapa sih ngurusin itu penting?” jadi “gimana caranya kita dukung temen yang lagi struggling?”.

Kalau mau baca pengalaman dan tulisan yang ngulik peran perempuan dalam budaya dan kesehatan mental, ada beberapa blog personal yang ngebahasnya dengan jujur dan ringan — contohnya inidhita. Nggak semua orang mau langsung terapi atau ikut support group, tapi membaca pengalaman orang lain kadang itu yang bikin kita ngerasa nggak sendirian.

Mulai dari hal kecil: praktik yang bisa kita lakukan sekarang

Praktisnya, kita bisa mulai dari dialog yang aman: dengerin tanpa mendevaluasi, hindari kalimat seperti “coba bersyukur” saat seseorang lagi ngerasa terpuruk, dan tawarin opsi konkret—temani ke dokter, ikut ngobrol, atau sekadar kirim pesan check-in. Di lingkungan kerja, dorong adanya kebijakan cuti mental dan training pemahaman. Di keluarga, buka ruang ngobrol rutin tanpa judgement.

Akhir kata, perubahan nggak bakal instan. Tapi jujur aja, kalau kita berani cerita sedikit demi sedikit, budaya yang sebelumnya menuntut perempuan untuk menahan diri bisa berubah. Yang penting kita mulai—dengan lembut, konsisten, dan saling mendukung. Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?

Leave a Reply