Kalau ada yang bilang “kamu kok kelihatan baik-baik saja,” seringkali itu lebih seperti doa daripada pengamatan. Sebagai wanita, saya tumbuh di antara harapan: jadi lembut, ramah, sabar—dan tentu, tersenyum. Senyum itu ibarat aksesori yang selalu digantungkan. Cantik, rapi, sopan. Tapi ya—senyum tak selalu menandakan tenang.
Kenapa Senyum Sering Menipu?
Senyum bisa jadi alat diplomasi. Dalam banyak budaya, termasuk kita, wanita diajarkan untuk meredam emosi demi menjaga keharmonisan. Itu sulit. Bayangkan menahan lelah setelah hari panjang lalu dipaksa bertanya, “Kamu baik-baik saja?” Satu jawaban singkat: “Iya.” End of conversation. Padahal di dalam kepala mungkin berputar banyak hal—kecemasan tentang pekerjaan, urusan rumah, atau perasaan tidak cukup baik.
Saya pernah menunda bicara tentang kecemasan karena takut merepotkan. Kelihatannya kecil sih. Tapi akumulasi hal kecil bisa jadi bohong besar pada diri sendiri. Di sinilah budaya perempuan yang menomorsatukan orang lain membuat mental health sering diabaikan.
Rutinitas, Self-care, dan Harapan Tak Kasat Mata
Self-care bukan sekadar produk mandi mahal atau weekend ke kafe. Itu tentang mengatur ulang prioritas. Tidur cukup. Makan yang layak. Gerak tubuh. Menolak undangan ketika energi habis tanpa merasa bersalah. Sederhana, tapi revolusioner jika kamu dibesarkan untuk selalu bilang “iya”.
Saya mulai belajar membuat “perawatan kecil” tiap hari. Jalan kaki 20 menit di sore hari. Matikan ponsel sebelum tidur. Menulis tiga hal yang saya syukuri. Efeknya? Bukan langsung sembuh, tentu. Tapi ada jeda. Ada ruang napas. Itu penting untuk mengatasi kumparan pikiran yang seringkali tak tampak di balik senyum.
Berani Bilang Tidak: Batas Adalah Kekuatan
Batas itu kata yang manis sekaligus menakutkan. Banyak dari kita merasa harus menjelaskan, memberi alasan panjang, bahkan merasa bersalah ketika menolak. Padahal batas adalah bentuk komunikasi paling jujur yang kita punya. Katakan tidak dengan tegas. Tanpa perlu minta maaf berlebihan.
Ketika saya mulai membiasakan mengatakan “tidak” pada hal-hal yang menguras energi, hubungan juga berubah. Tidak semuanya buruk. Beberapa orang akan kecewa, ya. Tapi sebagian besar menghormati keputusan itu. Dan yang paling penting: saya tidak lagi menumpuk emosi sampai letusan kecil berubah jadi masalah besar.
Mencari Bantuan Itu Bukan Lemah
Terakhir—dan mungkin paling penting—mencari bantuan itu biasa. Terapi bukan hanya untuk yang “gila” atau “parah”. Konseling, berbicara dengan teman dekat, komunitas ibu, atau membaca tulisan-tulisan yang relevan bisa jadi titik awal. Saya menemukan perspektif baru saat berbicara dengan psikolog; itu membuka cara berpikir yang lebih ramah pada diri sendiri.
Di era digital, banyak sumber cerita dan dukungan. Kalau kamu ingin baca pengalaman perempuan lain yang terbuka soal perjalanan mentalnya, perhatikan blog-blog personal yang jujur seperti inidhita. Mereka kadang memberikan rasa tidak sendirian yang sangat berharga.
Kebudayaan juga berperan besar. Kita perlu membicarakan kesehatan mental di ruang keluarga, lingkungan kerja, dan di antara teman. Bukan untuk menuntut solusi instan, tapi untuk menumbuhkan empati. Kalau lingkungan bilang “ya, kamu boleh lelah,” akan lebih mudah bagi perempuan untuk jujur.
Akhir kata, senyum itu indah. Tapi jangan biarkan senyum menjadi tameng yang menutup panggilan hati. Jadikan senyum pilihan, bukan kewajiban. Pelan-pelan, berbicaralah pada diri sendiri seperti kamu berbicara pada sahabat—lembut, jujur, dan penuh dukungan. Kita berhak merasa. Kita juga berhak sehat, secara utuh.