Saat Self Care Bertemu Tradisi dan Suara Perempuan

Saat Self Care Bertemu Tradisi dan Suara Perempuan

Awal yang sederhana, dengan teh hangat

Aku ingat sekali, pagi itu aku duduk di teras sambil menyeruput teh jahe. Ada angin yang membawa aroma daun pandan dari pot di pojok, suara anak tetangga yang berlari, dan jemuran sarung ibu yang berkibar. Itu bukan spa. Tapi bagi saya, itu self care. Bukan karena mahal, melainkan karena berhenti sejenak dan kembali ke tubuh sendiri.

Kita sering membayangkan self care sebagai serangkaian ritual ala Instagram: lilin, minyak esensial, playlist khusus. Semua itu oke jika membuatmu tenang. Tapi di rumah saya, self care bertemu tradisi. Jamu yang dibuat nenek, pijat tradisional setelah melahirkan, hingga kumpul arisan yang terasa seperti terapi kelompok. Tradisi itu penuh suara perempuan: bisik-bisik ibu, tawa nenek, kritik tajam yang kadang manjur.

Self care itu politis — serius dulu ya

Ini bukan sekadar soal relaksasi. Ketika seseorang berkata “saya butuh self care”, itu sering berarti: saya butuh ruang untuk bernapas di tengah tuntutan kerja, urusan rumah, dan ekspektasi sosial. Untuk banyak perempuan, ruang itu tak datang sendiri. Ia harus direbut. Menjaga kesehatan mental adalah tindakan menolak menjadi mesin produktif terus-menerus.

Saya percaya tradisi punya peran di sini. Ritual-ritual komunitas, misalnya malam tirakatan setelah melahirkan, bukan sekadar soal makanan enak. Itu adalah sistem dukungan. Orang-orang membantu, mengurus, mendengarkan. Tradisi menempatkan perempuan sebagai subjek dan penerima empati, bukan semata pelayan keluarga. Sayangnya, perubahan gaya hidup dan logika pasar membuat banyak ritual ini terpinggirkan. Kita lalu dijual self care yang individualistis: beli ini, lakukan itu, jangan repot-repot minta tolong pada tetangga.

Gaya santai: ngobrol sama nenek (dan internet)

Aku pernah menanyakan ke nenek, “Nenek, apa sih yang nenek lakukan kalau capek?” Nenek tersenyum, menarik nafas, lalu jawabannya sederhana: “Tidur siang. Dikasih sayur hangat. Diajak cerita.” Kadang jawaban sejernih itu hilang di antara jargon wellness modern. Tapi juga lucu: di sela percakapan, aku membuka ponsel dan menemukan tulisan yang mengupas topik serupa di inidhita. Ada harmoni antara pengetahuan lama dan diskusi baru. Keduanya saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Internet bisa jadi tempat yang menghubungkan suara perempuan lintas generasi. Membaca blog, forum, atau cerita pengalaman membuat saya merasa tidak sendirian. Namun, waspadai juga: feed yang penuh produk self care bisa membuatmu merasa gagal jika tak membeli apa pun. Self care bukan kompetisi.

Mencampur tradisi dan praktik modern: beberapa hal yang saya coba

Saya ingin berbagi beberapa hal kecil yang saya lakukan. Mungkin berguna untukmu juga:

– Mengembalikan makna ritual: aku membuat ‘ritual pagi’ sederhana—menyisir rambut, menyalakan lilin kecil, menulis tiga hal yang aku syukuri. Bukan karena estetika, tapi karena memberi tubuh tanda “kamu aman dulu hari ini”.

– Menjaga roda sosial: setiap minggu aku telepon teman lama atau ikut arisan lingkungan. Suara perempuan itu obat. Kadang cuma ngobrol hal sepele, dan terasa meringankan.

– Menggabungkan pengetahuan: aku belajar dari nenek tentang jamu, dari dokter tentang nutrisi, dan dari tulisan-tulisan online tentang terapi. Perpaduan ini membuat perawatan diri terasa lebih kaya, bukan kontradiktif.

– Mempraktikkan perbatasan: menolak bukan kejam. Mengatakan tidak pada tugas ekstra di kantor atau aktivitas sosial yang menguras energi adalah bagian self care yang penting. Ini pelajaran yang sering datang setelah mendengar banyak cerita perempuan yang lelah.

Di satu sisi, tradisi mengajarkan kolektivitas; di sisi lain, praktik modern memberi alat untuk memahami tubuh dan emosi dengan bahasa sains. Kita berhak memilih yang membuat kita kuat.

Akhirnya, self care bukan soal mengikuti tren. Ia soal memberi ruang bagi suara perempuan — suara yang kadang berbisik, kadang berteriak — untuk didengar. Entah itu melalui jamu hangat, cerita beramai-ramai di dapur, atau sesi terapi online, yang penting suara itu tak dibungkam. Saya sendiri masih belajar, menunggu, dan bereksperimen. Kadang salah. Kadang berhasil. Tapi selalu ada teh hangat menunggu, dan itu sudah cukup untuk memulai lagi.

Leave a Reply