Ritme Rumah: lebih dari rutinitas
Rumah sering dianggap tempat paling aman. Tapi bagi banyak perempuan, rumah juga bisa jadi sumber ritme yang mengekang. Bangun, siapin sarapan, antar anak (jika ada), kerja, masak, bersihin—ulang lagi. Ritme ini terdengar stabil. Padahal, stabil belum tentu sehat. Ritme yang sehat adalah yang memberi ruang napas, bukan cuma checklist yang bikin dada sesak.
Aku ingat suatu pagi ketika alarm bunyi dua kali lebih keras dari biasanya. Aku menunggu sebentar, berharap enggan bangun berubah jadi alasan untuk istirahat, tapi ternyata bukan. Ada suara kecil di kepala yang bilang, “Kamu belum menyelesaikan ini kemarin.” Aku bangkit. Begitu saja. Cerita kecil ini mungkin sederhana, tapi ia menggambarkan bagaimana rutinitas bisa mencuri perasaan tenang kita tanpa kita sadar.
Ngomongin batas: gak usah ribet, tapi perlu tegas
Banyak perempuan tumbuh dengan pesan implisit: jadi yang bisa diandalkan, jangan merepotkan, utamakan orang lain. Jadilah superhero tanpa tanda pengenal. Padahal yang diperlukan seringkali justru satu kata pendek: tidak. Menetapkan batas bukan berarti menjadi dingin atau egois. Itu tentang menjaga kapasitas emosional supaya kita tetap bisa memberi tanpa habis.
Saya pernah menolak undangan keluarga untuk acara yang akan menguras energi saya sepanjang minggu. Reaksinya ada beragam—beberapa heran, beberapa menghargai. Yang penting, setelah menolak, saya merasa lebih punya ruang. Itulah bedanya antara memaksakan diri demi norma, dan memilih demi kesehatan jiwa.
Harga diri dan peran: mitos yang perlu ditantang
Harga diri perempuan sering terikat pada peran: istri yang sempurna, ibu yang sabar, karyawan yang berdedikasi. Peran-peran ini bagus sebagai pilihan, berbahaya bila jadi satu-satunya tolok ukur nilai diri. Kalau harga diri kita bergantung sepenuhnya pada pujian atau pengakuan eksternal, kita jadi rentan—terombang-ambing oleh mood orang lain dan penilaian sosial.
Kita butuh narasi lain. Narasi yang membolehkan kesalahan. Narasi yang mengatakan: sukses menjaga kesehatan jiwa juga bentuk keberhasilan. Narasi yang memberi ruang untuk hari-hari tidak produktif tanpa rasa malu. Orang-orang di sekitar kita bisa membantu dengan satu hal sederhana: menanyakan, “Kamu baik-baik saja?” bukan selalu “Sudah beres belum?”
Akhirnya: menata ulang ruang, menata ulang jiwa
Menyusun ulang rumah kadang lebih dari sekadar estetika. Menyusun ulang artinya menentukan area untuk bekerja, area untuk lelah, area untuk berbahagia. Bahkan sudut kecil tempat menaruh tanaman bisa menjadi saksi ritual menyendiri yang menenangkan. Ritme baru tak perlu dramatis. Bisa dimulai dengan lima menit napas dalam setiap pagi, atau sepuluh menit membaca tanpa ponsel sebelum tidur.
Di perjalanan pribadi saya, kebiasaan kecil itu yang menyelamatkan. Ketika dunia terasa cepat dan tuntutan bertumpuk, saya memilih untuk menonaktifkan notifikasi selama jam makan malam. Rasanya sederhana—tapi efeknya besar. Makan jadi lebih hangat, percakapan jadi lebih nyata, dan harga diri saya tidak lagi getar karena setiap komentar online.
Kesehatan jiwa perempuan juga soal komunitas. Kita butuh ruang untuk berbicara tanpa dihakimi, tempat yang paham bahwa perjuangan bukan tanda kelemahan. Saya sering menemukan kenyamanan dalam tulisan-tulisan ringan dan pengalaman perempuan lain; salah satunya ketika membaca beberapa refleksi di inidhita yang terasa seperti teman kopi sore.
Tidak ada resep tunggal untuk semua. Ada hari ketika kita kuat dan produktif, ada hari ketika kita mendinginkan mesin dan itu juga oke. Intinya: dengarkan ritme tubuh dan hatimu. Lindungi harga dirimu dari standar yang menguras. Rumah yang sehat bukan hanya rapi di permukaan, tapi juga beri ruang bagi jiwa untuk bernapas.
Kalau aku boleh berpesan: mulailah dari satu hal kecil. Pilih satu kebiasaan yang membuatmu merasa sedikit lebih manusiawi hari ini. Dan ingat, merawat diri bukan tindakan egois. Itu tugas dasar—seperti menyimpan oksigen untuk diri sendiri agar bisa memberi pada orang lain tanpa hancur.