Kenapa kita jarang bicara tentang kesehatan mental perempuan? Jujur aja, gue sering mikir ini bukan karena kita gak peduli, tapi karena banyak hal lain yang ngganjel lebih dulu — stigma, peran sosial, sampai kebiasaan menyepelekan. Cerita kecil: waktu ngobrol sama temen SMA yang sekarang jadi ibu, dia bilang, “Gue sering ngerasa kosong setelah subuh, tapi siapa yang mau dengerin?’. Gue sempet mikir, kenapa suaranya tenggelam di rutinitas?”
Informasi: Data, stigma, dan miskin penjelasan
Banyak penelitian menunjukan perempuan lebih sering mengalami depresi dan kecemasan dibanding laki-laki, tapi informasi ini sering berakhir di jurnal akademik atau headline singkat. Di masyarakat, gejala sering disalahartikan sebagai ‘baper’ atau drama hormonal. Padahal, gangguan mental itu nyata dan kompleks. Kurangnya literasi membuat perempuan jadi susah mengenali tanda, mencari bantuan, atau bahkan mendapat diagnosis yang tepat. Sistem kesehatan pun kadang belum ramah gender dalam pendekatannya.
Opini: Peran ganda yang bikin melelahkan
Salah satu alasan kenapa kita jarang ngomong soal ini karena beban yang sudah menumpuk: kerja, urus rumah, jadi ibu, partner, anak, sekaligus dandan agar tetap ‘baik-baik saja’ di sosmed. Jujur aja, gue dulu mikir kalau bercerita bakal terlihat lemah, dan teman-teman perempuan juga sering menolak jadi beban orang lain. Ada tekanan sosial yang bilang: “tahan dulu, nanti juga lewat”. Padahal menunda bicara cuma bikin masalah mental makin dalam.
Agak lucu (tapi sebenarnya enggak): Multitasking itu bukan solusi
Kita sering bangga bisa multitasking — masak, rapat Zoom, jagain anak sambil balas chat. Lucu kalau dipikir: kemampuan ini malah bikin kita jarang menyadari kalau ternyata kita kelelahan emosional. Gue sempet ketawa-ketawa sendiri waktu tahu ada istilah “invisible labor” yang menjelaskan kerja emosional yang gak dihitung. Tertawa itu obat, tapi tertawa terus tanpa jeda juga bisa jadi tanda burn-out. Kita perlu belajar bahwa bilang “capek” itu bukan pamrih.
Budaya: Mengapa suara perempuan mudah diabaikan
Budaya patriarki masih membuat suara perempuan sering diremehkan, termasuk soal kesehatan mental. Ada anggapan bahwa perempuan itu ‘lebih sensitif’ jadi segala keluhan mudah dipatok sebagai hal biasa. Ketika perempuan berani cerita soal kondisi mereka, jawaban yang sering muncul: “Coba lebih bersyukur,” atau “Mungkin karena kurang olahraga.” Komentar-komentar ini, walau bermaksud baik, seringkali meminimalkan pengalaman nyata. Akhirnya banyak yang memilih diam demi menghindari salah paham.
Solusi kecil yang terasa penting
Bicara soal solusi, gue percaya perubahan dimulai dari hal sederhana: ruang aman untuk bercerita tanpa dihakimi. Keluarga dan teman bisa belajar mendengar lebih dibanding memberi nasihat instan. Di level kebijakan, pelatihan untuk tenaga kesehatan agar sensitif gender itu penting. Dan sebagai individu, rajin mengecek kesehatan mental sendiri itu bukan egois — itu bagian dari bertahan hidup. Kalau butuh referensi gaya santai, gue pernah nulis lebih banyak tentang self-care di inidhita.
Gue nggak mau ini jadi tulisan moralizer. Justru lewat cerita hari-hari kecil—ketika kita bilang “gue capek” di grup keluarga atau saat kita menolak memenuhi ekspektasi sosial—kita bisa mulai mematahkan tabu. Ada kekuatan dalam kebersamaan: ketika satu perempuan berani buka suara, yang lain mungkin akan merasa diberi izin juga untuk ngomong.
Jadi, kenapa kita jarang bicara tentang kesehatan mental perempuan? Karena sistem, budaya, dan kebiasaan membuat suara itu kecil. Tapi gue percaya perubahan datang dari langkah-langkah kecil: mendengar tanpa menyela, bertanya “apa gue bisa bantu?”, dan belajar bahwa meminta bantuan itu berani, bukan lemah. Yuk mulai dari percakapan kecil hari ini — mungkin dengan secangkir kopi, atau sekadar pesan singkat—supaya suara kita makin didengar.