Curhat Tentang Budaya Wanita, Kesehatan Mental dan Rutinitas Baru

Curhat Tentang Budaya Wanita, Kesehatan Mental dan Rutinitas Baru

Mengapa budaya wanita sering terasa menekan?

Aku pernah bertanya-tanya, kenapa ada standar yang seolah-olah datang dari mana-mana dan selalu menempel ketika kita mau bernapas sedikit lebih lega? Dalam keluarga, di lingkungan kerja, di grup WhatsApp—sempat-sempatnya ada komentar soal penampilan, soal kapan nikah, soal seberapa “produktif” kita harus terlihat. Kadang aku capek tanpa alasan jelas. Lalu sadar, itu bukan hanya soal capek fisik. Ini soal capek mental. Tekanan itu kecil-kecil tapi menumpuk. Lama-lama jadi beban yang beratnya sulit dijelaskan ke orang yang belum merasakan.

Apakah kita boleh memilih jalan berbeda?

Aku ingin bilang: tentu boleh. Pilihan hidup itu bukan perlombaan yang harus dimenangkan dengan ukuran orang lain. Ada yang nyaman mengejar karier, ada yang memilih jadi ibu rumah tangga, ada yang ingin menunda menikah, ada juga yang memilih kombinasi. Semua sah. Namun, realitanya berbeda. Kadang aku merasa harus menjelaskan diri, membela pilihan, atau bahkan membiarkan komentar masuk tanpa sengaja. Itu melelahkan. Maka aku belajar satu hal kecil tapi penting: menetapkan batas. Bukan berarti memutuskan hubungan. Hanya menunjukkan bahwa kita punya ruang pribadi yang tidak bisa diisi oleh opini publik setiap saat.

Pengalaman pribadi: terapi, teman, dan rutinitas baru

Ada masa ketika aku merasa segala sesuatu serba abu-abu. Pagi terasa berat, kerjaan menumpuk, dan menikmati kopi pun terasa seperti kewajiban, bukan kenikmatan. Aku akhirnya mencoba terapi—bukan karena aku “gila”, tetapi karena aku ingin lebih peka dan lebih baik mengelola emosi. Terapi membantu. Ia memberikan ruang untuk menyusun ulang prioritas, untuk belajar berkomunikasi dengan diri sendiri. Selain itu, aku juga lebih sering curhat ke teman dekat. Kadang obrolan sederhana tentang makanan atau film bisa membuka celah kecil yang membuat hari jadi lebih ringan.

Sebagai tambahan, aku membangun rutinitas baru yang sederhana: bangun 15 menit lebih awal, menulis tiga hal yang aku syukuri, dan berjalan kaki singkat di sekitar rumah. Tidak perlu lama. Kadang sepuluh menit sudah membuat perbedaan besar. Ketika tubuh bergerak, kepala juga lebih tenang. Kebiasaan kecil itu, yang awalnya terasa sepele, justru memberi struktur yang menahan kecemasan supaya tidak meluap begitu saja.

Bagaimana budaya mempengaruhi cara kita merawat diri?

Budaya sering mengajarkan bahwa merawat diri adalah kemewahan atau egois. “Nanti kalau punya anak gimana?” atau “Kerja terus, kapan istirahat?” adalah kalimat yang akrab. Aku pernah terjebak di sana—merasa bersalah karena ingin waktu untuk diri sendiri. Lama-lama aku paham: merawat diri bukan eskapisme, melainkan investasi. Bila kita sehat mental dan fisik, kita lebih mampu mendukung orang lain. Jadi, aku belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah. Itu proses. Ada hari baik dan ada hari buruk. Dan itu wajar.

Saat aku mulai membagikan pengalaman ini ke lingkaran yang lebih luas, reaksi beragam. Ada yang mengangguk setuju, ada yang skeptis, ada pula yang merasa tersindir. Semua normal. Perubahan budaya tidak terjadi hanya karena satu orang. Ia terjadi melalui dialog, melalui persoalan kecil yang dibicarakan berkali-kali sampai orang lain menyadari bahwa mungkin ada cara lain yang lebih ramah terhadap kesehatan mental.

Langkah praktis yang kubagikan

Jika kamu sedang mencari titik awal, ini beberapa langkah yang kubuat sederhana: pertama, catat tiga hal yang membuatmu lega setiap hari. Kedua, batasi paparan komentar yang bikin down—unsubscribe, mute, atau keluar dari grup sementara. Ketiga, cari satu aktivitas fisik yang kamu nikmati, bukan yang harus kamu paksakan. Keempat, kalau memungkinkan, coba bicara dengan profesional. Aku pernah membaca pengalaman dan tips di beberapa blog, termasuk tulisan yang menginspirasi di inidhita, yang membuatku merasa tidak sendiri dalam perjalanan ini.

Akhirnya, aku ingin bilang: jangan buru-buru merasa harus sempurna. Budaya memang punya suara keras, tapi suaramu—suara yang memilih, beristirahat, menyembuhkan—juga punya tempat. Kita sedang belajar. Pelan-pelan tapi pasti. Dan jika kamu butuh teman cerita, aku di sini.

Leave a Reply