Mengapa perubahan peran terasa berat
Kadang malam datang seperti teman lama yang bisu, membawa gundah yang nggak pernah sepenuhnya kutahu dari mana asalnya. Perubahan peran — dari pekerja jadi ibu, dari anak jadi pengurus orang tua, dari lajang jadi pasangan — sering terasa seperti ganti kostum mendadak tanpa waktu untuk latihan. Aku ingat malam-malam pertama setelah menikah, tiba-tiba ada ekspektasi tak tertulis soal “seharusnya” yang bikin napas sesak. Bukan karena tugasnya berat—melainkan karena identitas yang aku kenal perlahan memudar dan belum digantikan oleh sesuatu yang kukenal.
Pernah nggak sih kamu ngerasa sendirian saat semua berubah?
Aku sering nanya itu ke diri sendiri. Jawabannya hampir selalu: iya. Walau dikelilingi keluarga, teman, atau rekan kerja, perubahan peran punya ritme sendiri yang kadang membuat kita merasa membaca naskah berbeda sendirian. Ada hari aku merasa hebat: bisa atur pekerjaan, masak, dan masih sempat olahraga. Tapi ada juga hari yang sederhana—menangis di kamar mandi karena capek dan takut nggak cukup. Pertanyaan yang muncul bukan cuma “apa yang harus dilakukan?” tapi juga “siapa aku sekarang?”
Ngobrol santai: tips kecil yang kuterapkan
Yang membantu bukan selalu solusi besar. Kadang hal kecil yang konsisten jauh lebih menenangkan. Contohnya, aku mulai buat rutinitas malam: secangkir teh, jurnal lima menit, dan matikan notifikasi. Nggak muluk, tapi memberi jeda sebelum tidur agar aku nggak terbawa pikiran terus-menerus. Aku juga belajar bilang “tidak” tanpa rasa bersalah—sesuatu yang awalnya berat tapi menyelamatkan keseimbangan. Ada malam-malam ketika aku memilih menolak undangan demi tidur lebih awal, dan itu ternyata pilihan yang sehat.
Satu hal lain yang sering aku lakukan adalah menulis curahan hati di blog atau notes pribadi. Kadang aku bagikan sedikit di media sosial, dan kaget ketika ada yang bilang, “Sama, aku juga.” Menyadari bahwa ada yang merasakan hal serupa membuat beban terasa lebih ringan. Untuk bacaan dan referensi, aku pernah menemukan tulisan-tulisan reflektif yang menolong di inidhita, yang membahas pengalaman perempuan dengan nada sangat manusiawi.
Membuat batas: seni yang harus dipelajari
Batas bukan berarti egois. Justru, itu bentuk cinta pada diri sendiri dan orang lain. Aku pernah ambil proyek kerja terlalu banyak karena takut mengecewakan, sampai akhirnya kualitas pekerjaan dan kesehatan mental terganggu. Belajar menetapkan batas waktu kerja, meminta bantuan saat perlu, dan delegasi pekerjaan di rumah adalah kebiasaan yang harus dilatih. Bila awalnya terasa canggung, perlahan itu berubah jadi kebiasaan yang memberi ruang bernapas.
Kapan perlu bantuan profesional?
Curhat ke teman itu penting, tapi ada kalanya kita butuh lebih dari sekadar telinga. Bila kecemasan atau depresi mulai mengganggu fungsi sehari-hari—tidur terganggu, makan berubah drastis, atau sulit bangun—itu tanda untuk mencari bantuan profesional. Terapi bukan tanda kelemahan; bagi banyak perempuan, terapi menjadi ruang aman untuk merajut kembali potongan identitas yang tercerai-berai saat peran berubah.
Membangun komunitas yang empatik
Aku beruntung punya beberapa teman yang paham betul soal pergeseran peran. Kami saling kirim pesan singkat, bertukar meme, atau kadang saling menjemput anak saat salah satu butuh jeda. Komunitas kecil ini jadi pengingat bahwa perjalanan nggak harus dilalui sendiri. Jika belum punya komunitas, mulai dari yang kecil: satu teman yang bisa diajak curhat, satu grup online yang aman, atau ikut diskusi yang relevan.
Akhirnya: merawat diri itu proses, bukan tujuan
Tidak ada formula baku. Ada malam-malam yang aku menangis, ada hari-hari penuh tawa, dan semuanya bagian dari proses. Perubahan peran wanita adalah cerita panjang yang dinamis—kita belajar menulis ulang peran itu sambil berusaha tetap utuh. Jangan lupa: memberi waktu pada diri sendiri, meminta bantuan, dan merayakan kemenangan kecil sama pentingnya dengan pencapaian besar. Kalau malam ini kamu lagi gelisah, tarik napas, tulis satu hal yang buatmu lega, dan ingat: kamu nggak sendiri.