Catatan sore ini dimulai dari gelas kopi yang hampir dingin dan jendela yang menatap jalan yang biasa saja. Aku sedang ingin menulis sesuatu yang bukan panduan self-care klise, bukan juga manifesto feminist yang berat. Hanya catatan ringan tentang bagaimana perempuan — termasuk aku dan mungkin kamu — menambal hari-hari dengan rutinitas, harapan, dan kadang rasa lelah yang tak terucap. Sore itu, aku sadar: kesehatan mental berkaitan erat dengan budaya sehari-hari kita. Bukan cuma soal terapi atau obat, tapi juga soal bahasa yang kita pakai, tugas yang kita ambil, serta ekspektasi yang seringkali datang tanpa undangan.
Sore, kopi, dan perasaan yang nggak selalu rapi
Di luar sana, media sosial menampilkan versi hidup yang rapi. Di dalam grup keluarga, ada daftar tugas tak tertulis tentang kapan harus pulang, kapan harus menikah, kapan harus punya anak. Kita jadi terlatih untuk tersenyum di foto meski di dalam kepala ada daftar panjang yang mengganjal. Kadang aku berpikir: siapa yang menandatangani surat perjanjian buat semua ekspektasi itu? Tidak ada. Tapi efeknya nyata. Perasaan cemas yang datang seolah tanpa sebab, mudah disalahartikan sebagai kelemahan. Padahal, kita hidup di sistem yang menuntut multitasking emosional—bekerja, merawat, tampil, dan tetap dianggap “baik”.
Norma sehari-hari: cantik, produktif, tersenyum
Budaya kita sering menilai perempuan dari tiga hal: penampilan, produktivitas, dan kemampuan menjaga keharmonisan. Itu berat. Bayangkan harus segalak karier orang lain, sehalus iklan skincare, dan senyaman ibu rumah tangga versi 1950-an—semua sekaligus. Opini ini mungkin terdengar sinis. Tapi ini realita. Saat nilai diri diukur oleh checklist eksternal, kesehatan mental jadi korban pertama. Kita menekan emosi agar tidak merepotkan. Kita menunda kebutuhan diri sendiri karena merasa itu egois. Padahal, bukankah merawat diri itu bentuk tanggung jawab yang paling dasar?
Ngejaga kesehatan mental itu gaya hidup (bukan tren)
Nah, ini bagian penting: merawat kesehatan mental bukan tren yang datang dan pergi. Ini soal kebiasaan kecil yang kita ajarkan pada diri sendiri. Berhenti membandingkan berapa banyak tugas yang sudah selesai dengan tetangga sebelah. Memberi izin pada diri untuk bilang “cukup” tanpa merasa bersalah. Menetapkan batas. Membuat ritme yang masuk akal antara bekerja dan istirahat. Tidak perlu dramatis. Cukup mulai dari hal-hal sederhana: tidur yang cukup, makan makanan yang menenangkan badan, berbicara dengan teman yang benar-benar mendengarkan, atau sekadar menolak undangan ketika lelah. Semua itu bagian dari gaya hidup yang sehat.
Ritual kecil, perubahan besar
Ada kekuatan di ritual kecil. Misalnya, menulis tiga hal yang berhasil kamu lakukan hari itu. Bukan tiga hal sempurna; cukup tiga yang nyata. Atau menetapkan waktu 30 menit di sore hari untuk tidak menyentuh ponsel. Kebiasaan ini terdengar sederhana. Tapi lama-lama mereka merubah cara kita merespons tekanan. Budaya perempuan seringkali meniadakan ritual yang hanya untuk diri sendiri. Kita diajarkan mengatur rumah, keluarga, hubungan, tapi tidak diberi ruang untuk ritual yang meneguhkan identitas personal. Mulai ulang. Beri dirimu ritual yang menolong, bukan membebani.
Aku ingat pernah membaca tulisan ringan yang menyentil di sebuah blog; kata-katanya hangat dan membuat lega. Kadang referensi kecil itu jadi seperti teman di sore yang sama: menegur tanpa menghakimi. Kalau penasaran, ada beberapa tulisan yang sering kubaca di inidhita yang seperti itu—tentang kehidupan sehari-hari, pilihan, dan bagaimana kita bisa menata ulang kebiasaan supaya lebih ramah pada mental.
Di malam yang semakin dekat, aku menyadari satu hal lagi: budaya sehari-hari bukan sesuatu yang tetap. Ia bergerak, berubah oleh percakapan kecil, oleh keberanian satu dua perempuan yang memilih jalan berbeda. Ketika kita mulai membuka pembicaraan soal batas, soal meminta bantuan, soal tidak sempurna, maka budaya perlahan ikut berubah. Tidak secepat yang kita mau. Tapi cukup untuk memberi napas baru.
Jadi, kalau kamu sedang membaca ini sambil menunggu kopi dingin menjadi es, ingatlah: kesehatan mental dan budaya adalah percakapan yang berlangsung setiap hari. Kita bisa memilih untuk ikut serta mengubahnya—dengan kata, tindakan, dan dengan memberi ruang pada diri sendiri untuk istirahat. Bukan karena menyerah, tapi karena kita layak mendapatkan kebaikan itu.