Di era modern, gaya hidup wanita terasa seperti panggung besar: kita menata karier, rumah tangga, persahabatan, dan kesehatan mental sambil disorot kamera ponsel. Saya pribadi merasakan beban itu: ingin tampil segar di pagi hari, ingin punya waktu untuk diri sendiri, dan tetap menjaga hubungan yang hangat dengan orang-orang dekat. Keseimbangan sering terasa seperti tugas berat tanpa akhirnya selesai. Budaya kita menilai diri lewat apa yang kita tunjukkan di media sosial, lewat karier yang tampak cemerlang, lewat rutinitas yang kelihatan sempurna di grid Instagram. Di tengah semua itu, kita mencoba menimbang antara keinginan jadi versi terbaik dari diri sendiri dan kenyataan bahwa manusia punya batasan. Saya juga kadang mencari arti pada cerita orang lain, misalnya lewat inidhita. “yah, begitulah”.
Gaya Hidup Sehari-hari: Ritme Pagi yang Diperdebatkan
Bangun pagi, mata masih berat, namun daftar hal-hal yang harus dilakukan sudah menunggu: rapat, latihan, belanja kebutuhan rumah tangga, dan pesan yang menuntut jawaban. Ritme pagi terasa seperti ritual yang dipaksakan supaya terlihat ‘produktif’, padahal tubuh sering menolak. Kita menata rambut, memilih outfit yang ‘benar’, dan menyelipkan perawatan kulit di sela-sela meeting online. Di balik kilau feed, ada realitas keseharian yang tidak selalu gemerlap: rasa lelah, kekhawatiran soal tagihan, dan pertanyaan tentang apakah kita sudah cukup untuk orang-orang terkasih. Namun begitu kita meluangkan sepuluh menit untuk hal-hal kecil—napas, teh hangat, journaling ringan—kita merasakan arti dari kepingan-kepingan keseharian itu. Ritme itu bisa jadi beban, namun juga bisa jadi tempat kita menaruh empati pada diri sendiri.
Di era layar, kita sering menilai diri lewat postingan: foto olahraga pagi, busana baru, caption yang seolah menyiratkan hidup tanpa gangguan. Realitasnya bisa berbeda: kita mengatur pose, mengedit momen, dan menumpuk ritual kecil yang terasa seperti ‘performa’. Tidak semuanya buruk; ritual-ritual itu bisa menjadi self-care jika dilakukan tanpa rasa bersalah. Tapi masalah muncul saat standar berubah jadi mata-mata yang mengintai setiap keputusan: apakah saya cukup? apakah saya layak dicintai ketika keringat menetes, saat dompet menjerit? Dalam obrolan dengan teman, kita sering menemukan bahwa kita semua sedang belajar mengizinkan diri merasa tidak oke kadang-kadang.
Kesehatan Mental dan Budaya Konsumerisme
Seiring budaya kita menekankan efisiensi, mental health pun ikut terjebak dalam arus konsumsi. Bukan soal menolak gaya hidup modern, melainkan bagaimana menjaga kesehatan mental di tengah budaya yang memuja kesempurnaan. Terapi kadang mahal, kelompok dukungan tak selalu ada di kota kita, jadi banyak dari kita mencoba alat sederhana: menuliskan tiga hal yang disyukuri, latihan napas, meditasi, atau sekadar obrolan jujur dengan sahabat. Intervensi sederhana ini tidak menggantikan terapi untuk semua orang, tetapi bisa menjadi pagar kecil yang melindungi dari overstimulasi. Saya percaya kesehatan mental bukan soal menghilangkan masalah, melainkan membangun kapasitas untuk bertahan ketika badai datang, dan mengizinkan diri merasa tidak oke kadang-kadang.
Dukungan Komunitas Wanita: Solidaritas atau Tekanan?
Dukungan komunitas wanita seringkali menghadirkan dua arah: solidaritas yang hangat dan tekanan halus untuk tetap tampil kuat. Komunitas, offline maupun online, bisa menjadi tempat berbagi cerita soal burnout, kecemasan, dan masa-masa sulit lainnya. Ada rasa lega saat bertukar pengalaman, ada juga momen tidak nyaman ketika perbandingan muncul lewat highlight. Beberapa orang memanfaatkan jaringan untuk saling memberi dukungan dan membuka akses ke sumber daya. Namun dinamika lain bisa memicu kecemasan: komentar tidak relevan, saran yang terdengar seperti ‘atasi semua masalah sekarang’. Kita perlu membentuk batasan sehat sambil tetap menjaga empati, karena solidaritas berarti saling mengangkat, bukan saling menilai.
Langkah Nyata Menuju Kesehatan Mental yang Seimbang
Langkah nyata menuju keseimbangan bisa dimulai dari hal-hal kecil yang bisa kita ulangi tiap minggu. Tentukan prioritas secara sadar, tidak semua tugas perlu selesai sekarang. Matikan notifikasi yang menyita fokus, luangkan waktu untuk berjalan santai, atau ngobrol santai dengan teman dekat. Praktik sederhana seperti journaling, napas dalam-dalam, atau sekadar duduk diam selama beberapa menit bisa jadi obat bagi hati. Yang penting adalah konsistensi, bukan kesempurnaan. Ketika budaya modern menuntut kita jadi versi terbaik setiap saat, kita perlu mengingat bahwa kita juga manusia—berbatasan, lelah, dan punya hak untuk merawat diri dengan cara kita sendiri. Jika kita bisa ubah satu kebiasaan kecil setiap bulan, lama-lama kita ciptakan ruang tenang di dalam diri.