Ketika aku berjalan di pasar pagi, aku sering melihat bagaimana warna-warni dunia wanita berkisah lewat hal-hal kecil: mantel yang dipakai ke kantor, tawa yang berderet di kafe, hingga bisik-bisik soal rutinitas perawatan diri. Kisah kesehatan mental di dunia wanita terasa seperti lukisan besar yang sukses menumpuk lapisan warna: kadang cerah, kadang gelap, selalu bergerak. Aku ingin menuliskan bagian kecil dari perjalanan pribadi: bagaimana kita menjaga kesehatan mental sambil tetap menjadi manusia yang hidup dalam budaya, keluarga, dan komunitas yang penuh warna. Artikel ini bukan resep ajaib, tapi catatan harian tentang bagaimana kita bernafas, berbicara, dan bertahan di antara harapan-harapan yang saling bertentangan.
Serius: Menyelam Ke Dalam Perasaan
Aku dulu sering merasa hatiku perlu menampilkan versi terbaik dari diri sendiri sepanjang waktu. Saat teman-teman membicarakan minggu yang berjalan mulus, aku mulai membangun cerita bahwa aku kurang berarti jika tidak bisa menyeimbangkan semuanya. Rasa cemas itu seperti suara kecil di telinga yang berkata: “Kalau tidak sempurna, kamu tidak cukup.” Ketika akhirnya aku berhenti menepuk dada dan mulai mendengar, semua hal kecil yang selama ini kusembunyikan mulai mengemuka. Wajah lelah setelah seharian bekerja? Boleh. Menangis di kamar mandi karena lelah? Boleh. Mengakui bahwa aku butuh jeda untuk tetap sehat? Juga boleh. Sejak itu, aku belajar menamai perasaan-perasaan itu bukan sebagai bukti kelemahan, melainkan sinyal bahwa badan dan pikiran butuh perhatian.
Di masa-masa sulit, aku sering mengingatkan diri sendiri bahwa kesehatan mental bukan tentang menjadi ceria 24 jam, melainkan tentang kemampuan untuk kembali ke diri sendiri setelah terpeleset. Aku sering menuliskan apa yang aku rasakan di malam hari, tanpa perlu menghakimi diri sendiri. Menuliskannya seperti mengundang seorang teman untuk duduk di samping—menghirup napas, membiarkan emosi mengalir, lalu menemukan kata-kata yang tepat untuk mengucapkannya. Dan ya, sunyi itu tidak cuma kosong; sunyi bisa menjadi tempat untuk memperbaiki diri, jika kita menuturkannya dengan lembut pada diri sendiri.
Santai: Obrolan tentang Small Wins Sehari-hari
Kalau kita ngobrol santai, kita sering kembali ke hal-hal kecil yang membawa kita pulang ke diri sendiri. Minum kopi hangat tanpa setengah berkelanjutan, berjalan kaki singkat pulang dari kerja, atau memilih membalas pesan teman lama bukan karena kewajiban, tapi karena kita ingin menjaga koneksi manusia yang sehat. Aku mulai memasukkan ritual kecil seperti jurnal singkat sebelum tidur: tiga hal yang berjalan dengan baik hari ini, satu hal yang ingin aku perbaiki besok, dan satu hal yang membuatku tersenyum. Tentu, kadang hal-hal itu terasa sederhana, bahkan konyol. Tapi di balik kesederhanaannya, ada bukti bahwa kita bisa menguatkan diri dengan langkah-langkah yang konsisten, tanpa drama besar.
Aku juga belajar bahwa menetapkan batas itu bentuk cinta pada diri sendiri. Misalnya, mematikan notifikasi jam 9 malam, memberi diri waktu untuk membaca novel yang tidak harus menambah ‘rating hidup’ di media sosial, atau memilih untuk tidak menghadiri acara yang membuat aku merasa kecil. Orang mungkin menganggap ini sebagai kemewahan, tapi aku melihatnya sebagai investasi kesehatan mental. Ketika kita punya ruang untuk bernapas, kita bisa hadir lebih utuh bagi orang-orang tercinta, pekerjaan, dan diri sendiri.
Budaya Wanita: Warna, Tradisi, dan Tekanan Sosial
Dunia wanita sering datang dengan warna-warni budaya yang kaya, tapi juga dengan tekanan yang sering tidak terlihat. Ada tradisi kecil yang mengikat kita ke masa lalu—dan juga beban besar soal bagaimana tubuh, usia, dan peran seharusnya terlihat. Aku tumbuh di lingkungan yang menilai kesopanan dari cara kita berbicara halus, padahal suara kita bisa kuat jika kita memilih kata-kata yang jujur. Tekanan untuk selalu terlihat prima di semua momen—foto keluarga, reuni, presentasi pekerjaan—kadang melumpuhkan. Aku pernah merasa harus menebalkan garis antara sabar dan kepemilikan atas emosi pribadi, demi menjaga citra yang dianggap ‘sesuai’ dengan standar budaya. Namun seiring waktu, aku sadar bahwa kita bisa menghargai budaya sambil menuntut ruang untuk menjaga kesehatan mental sendiri.
Budaya juga memberi kita kekuatan: solidaritas antar teman sebaya, komunitas yang saling menguatkan, dan contoh perempuan yang mengambil kendali atas hidup mereka. Aku melihat bagaimana perempuan di sekitarku merayakan perbedaan—berbeda usia, pekerjaan, latar belakang—dan tetap menjaga empati. Dalam perjalanan itu, aku mulai lebih berani bertanya pada diri sendiri: apa yang benar untukku, bukan apa yang diharapkan orang lain. Aku juga semakin sering membaca pengalaman orang lain lewat cerita-cerita sederhana: bagaimana tidur cukup memperbaiki mood, bagaimana jalan kaki sore meredakan pikiran, bagaimana menolak beban yang tidak perlu tanpa merasa bersalah. Semua itu membuat kita merasa tidak sendirian, meskipun budaya kadang membuat kita merasa terasing.
Ritme Sehat Mental: Langkah Kecil yang Jujur
Jadi, bagaimana kita melangkah maju? Aku memilih ritme yang realistis. Tidur cukup, makan teratur, dan bergerak sedikit setiap hari, tanpa memaksa diri melewati batas. Aku menamai hari-hari bagus sebagai “panggung utama” dan hari-hari lelah sebagai bagian dari proses. Memaafkan diri sendiri ketika tidak bisa sempurna, dan hanya mencoba lagi esoknya, terasa seperti pelukan yang menguatkan. Ada juga momen penting ketika aku mulai mencari komunitas yang aman untuk berbicara tentang kesehatan mental: teman-teman dekat, grup diskusi kecil, atau bahkan blog pribadi yang bisa aku bagikan tanpa takut dihakimi.
Saya membaca banyak tulisan tentang bagaimana kita bisa membangun praktik sehat, termasuk yang ada di inidhita, tentang bagaimana menata ruang untuk diri sendiri. Intinya sederhana: kita tidak perlu menunggu momen besar untuk merawat diri. Perawatan bisa berupa hal-hal kecil: secangkir teh tanpa gangguan, napas dalam 4-4-4, atau momen diam ketika kita butuh tenang. Mengizinkan diri untuk tidak selalu kuat adalah langkah pertama menuju kekuatan yang nyata. Dan karena kita semua berlawanan antara kebutuhan kita dan ekspektasi dunia, langkah-langkah kecil itu adalah kemenangan besar jika kita konsisten mengerjakannya.