Apa itu “Me Time” sebenarnya?
Aku masih ingat pertama kali aku bilang butuh waktu sendiri ke teman dekat: dia menatap heran lalu bilang, “Bukankah kamu selalu sibuk? Emang kenapa nggak bisa bareng-bareng?” Rasanya campur aduk antara ingin tertawa dan ingin meledak. Me time sering disalahpahami sebagai keinginan egois untuk menghindar dari tanggung jawab, padahal bagi banyak wanita (termasuk aku), itu cara bertahan hidup yang sederhana.
Me time bukan semata waktu kosong yang diisi dengan scrolling Instagram sambil merasa bersalah. Bagi aku, me time itu ritual kecil: segelas kopi hangat di balkon pagi hari, napas panjang sambil lihat daun yang berayun, atau mandi lama sambil memutar lagu favorit tanpa mikirin deadline. Ketika aku bilang “butuh waktu sendiri”, itu berarti aku sedang mengisi ulang tenaga biar nanti bisa hadir dengan utuh—bukan cuma wujud fisik, tapi juga emosi.
Mengapa budaya kita menganggap me time sebagai “egois”?
Budaya kolektivistik dan peran tradisional wanita sering menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri sendiri. Kita diajari untuk menjadi perawat, pengatur, dan penyelesai masalah. Kalau sempat terdengar kata “me time”, sering ada bisik-bisik bahwa itu kemewahan yang tak perlu. Ditambah lagi, media sosial menayangkan versi hidup yang selalu produktif, serba sempurna, tanpa jeda—padahal kita semua manusia yang butuh recharge.
Ada juga rasa bersalah yang kumat setiap kali aku memilih untuk tidak memenuhi ekspektasi orang di sekitar. “Tolongin anaknya sebentar saja,” “Datang ke arisan, dong,”—kalimat sederhana yang bisa menimbulkan dilema. Dalam hati ada dialog kecil: kalau aku ambil waktu untuk diri sendiri, apakah itu berarti aku meninggalkan tanggung jawab? Jawabannya, ternyata tidak. Justru, ketika aku memberi perhatian pada kesehatan mental, aku jadi lebih sabar, lebih kreatif, dan lebih suportif pada orang di sekitarku.
Me time itu hak, bukan kemewahan
Aku mulai memandang me time sebagai kebutuhan dasar, seperti makan atau tidur. Bukan harus lama—kadang 15 menit cukup untuk menata ulang pikiran. Misalnya, setiap sore aku punya ritual “tenang 20 menit”: matikan notifikasi, duduk di sofa sambil menulis random di buku kecil, atau sekedar merapikan pot tanaman. Setelah itu aku merasa lebih ringan dan bisa kembali berinteraksi tanpa cepat tersinggung atau mudah lelah.
Salah satu hal lucu yang kucamkan adalah membuat “kontrak” kecil dengan diri sendiri dan keluarga: satu jam setiap minggu adalah jam sacro-saint yang nggak boleh diganggu kecuali darurat. Awalnya, anak-anak menatap kebingungan—apa yang ibunya lakukan sendiri? Sekarang mereka malah ikut menghormati. Bukan karena aku diktator, melainkan karena mereka melihat efek positifnya: ibu yang lebih ceria dan lebih sabar ketika mengerjakan pekerjaan rumah bersama.
Praktik sederhana untuk mulai memberi ruang pada diri
Kalau kamu masih merasa bersalah, mulailah dari langkah paling kecil. Catat tiga hal yang membuatmu rileks dan sisihkan waktu mingguan untuk melakukan satu di antaranya. Bisa baca buku lima halaman, berjalan kaki tanpa tujuan 10 menit, atau menonton serial lawas yang bikin ketawa keras sampai pipi sakit. Atau kalau butuh referensi dan cerita dari orang lain, pernah juga aku menemukan inspirasi menarik lewat blog seperti inidhita yang bikin aku merasa nggak sendirian.
Komunikasikan juga batasanmu dengan lembut. Katakan, “Aku perlu waktu 30 menit sendiri, nanti aku kembali ya.” Kebanyakan orang akan paham jika dijelaskan dengan ramah. Dan jika masih merasa takut dianggap sombong, ingat ini: merawat diri bukan hanya untuk kebahagiaan pribadimu, tapi juga untuk kualitas hubunganmu dengan orang lain.
Akhir kata, me time bukan egois—itu bentuk mencintai diri yang paling sederhana. Kita nggak perlu menunggu izin siapa pun untuk memberi ruang pada napas sendiri. Kalau kita jatuh cinta pada diri sendiri sedikit lebih sering, mungkin dunia sekitar kita juga akan menerima versi terbaik dari kita—sambil sesekali tertawa kecil karena ternyata istirahat itu nggak berbahaya dan malah menyelamatkan hari-hari kita.